Saturday, 6 October 2012

Fiksi Belaka (Cerpen)


Ku hanya Bocah Ingusan tak Bertuan
Dwi Oktariani

Kuterdiam sejenak. Menghentikan langkah yang tak tentu arah. Mengikuti jejak mentari, timbul dan kelam. Seiring semilir angin memecah sunyi. Aku lapar, lapar sekali. Di depanku ada istana perut alias tempat makan megah dan ternama. Aku tak tahu pasti bangunan macam apakah itu? Aku hanya tahu dari orang-orang sekelilingku, bangunan itu namanya Restoran. Jangan tanyakan aku mengenai itu lagi, itu sangat tidaklah penting, yang penting itu cara untuk mengisi perutku yang sakit ini. Rasanya tak bisa untuk ditahan lagi .
apa yang harus ku lakukan?”  Tanyaku dalam hati.
Aku sudah tak sanggup lagi menahannya. Lem aibon yang biasanya ku gunakan untuk menetralisir rasa lapar melanda kini sudah tak mampu menghilangkan rasa laparnya di perutku ini. aduh,sakit sekali! Jeritku dalam hati.
Telah lebih dari sepuluh rumah makan di kota semegah ini ku datangi tapi tak satupun yang pedulikan rasa sakitnya dan laparnya perut ini. Kadang terlintas rasa ingin mengakhiri hidup . Biar ku tak rasakan lagi penderitaan ini. tapi, khayalan-khalayan masa depanku nanti selalu membayang membuang semua niat bunuh diri itu.
Setiap hari aku selalu berkhayal dengan penuh harap akan datang seorang dermawan baik yang mau mengangkatku menjadi anaknya atau mungkin hanya sekedar memberiku sebungkus nasi untuk makan.
Aku tetap melirik orang-orang yang sedang makan di dalam sana. Betapa enaknya mereka. Betapa sejahteranya mereka. Setiap melihat mereka hatiku selalu kacau dan penuh dengan khayalan yang tak jelas.
Andai saja,... ah sudahlah tak baik orang macam aku berandai terlalu jauh.. jika jatuh sakit sekali rasanya. “gumamku      
Lama aku terdiam, berharap ada yang datang memberiku sedikit atau sebongkah roti kecil untuk mengganjal perut ini. tapi rasanya tak ada yang hiraukan aku. Wajah kecilku ayng kumel dan lesuh tak membuat seorangpun tergerak hatinya untuk memberi. Menit berlalu menit, jam telah berlalu juga. Hingga mentari telah meninggi menantang. Aku kesal dan rasa sakit perutku ini sudah tak terkontrol lagi. Aku kemudian berlalu pergi. Dengan dibantu seonggak kayu aku berjalan, berjalan dan berjalan lagi. Melintasi jalanan sepi. Dengan daya yang masih tersisa, aku membawa kaki dan seonggok kayu itu berjalan. Aku pun tak tahu harus ku bawa kemana kaki ini melangkah.
Dengan langkah yang sudah tak terkontrol karena sudah tak cukup berdaya lagi, ku terhenti di sebuah kotak besar. Nampak seperti kotak sampah tapi itu memang kotak sampah. Aku buka kotak itu dan berharap ada sedikit makanan kecil didalamnya. Layaknya seekor ayam yang sedang mengais mencari makan. Dengan wajah yang sumringah aku tersenyum lega.
Alhamdulilah akhirnya rasa sakit perut ini akan segera terobati” syukurku dalam hati
Bak mendapatkan durian runtuh menemukan sisa-sisa makanan itu. Ku ambil dengan perlahan sembari mengelus-elus perut yang sudah tak tahan lagi. Sambil membawa sisa-sisa makanan itu, aku mencari tempat untuk menyantapnya.
Disebuah pohon yang rindang dan sepi. Disanalah aku menyantapnya. Ku buka perlahan seperti tak mau serakah. Ku liat makanan itu sudah tak menarik lagi. Ku cium baunya juga semerbak bak sisa makanan hewan. Tapi aku tak mau menyia-nyiakan makanan itu. Sambil berdoa dengan khusuknya aku memohon dan berharap Tuhan menghilangkan baunya dan memperindah teksturnya.
Ku mulai pejamkan mata erat-erat. Erat sekali. Bak terbuat dari baja. Dengan tersenyum lebar, aku mulai berkhayal dan membayangkan ku sedang berda di sebuah restoran terkenal dan termahal di jagat raya ini. ku biarkan anganku melayang entah kemana. Ku rasakan semakin jauh dan jauh.
Kini ku merasa diri di sebuah restoran megah dan mahal dengan makanan yang sangat enak. Ku biarkan diri tersenyum sendiri. Dengan mata masih terpejam dan angan yang masih dibiarkan lepas, ku mulai untuk menyantap sisa-sisa makanan tadi yang ku temukan. Sambil memakan itu aku masih membiarkan anganku yang merasakan nikmatnya makanan itu bak makan di surga makanan.
Semilir angin sepoi-sepoi, ku masih menyantapnya. Ku tak rasakan lagi baunya. Ku juga tak melihat teksturnya. Hingga habis ku menyantapnya.
Mata masih tetap ku biarkan tertutup begitu juga anganku masih berlayar bebas jauh disana. Ku rasakan perutku telah terisi. Perlahan ku buka mata ini sembari menyucap syukur. perlahan juga ku dapatkan jiwaku kembali. Ku lihat makananku telah habis dilahap. Aku senang aku bisa melakukannya lagi. Aku bersyukur makanan itu telah memberiku sedikit tenaga. Kini haus yang ku rasakan. Tepat sekali. Di halte itu ku lihat, ada botol. Botol minuman yang tak bertuan. Ku coba dekati dan mengambilnya. Untungnya halte itu tak begitu ramai.
Sekalipun ramai, aku tak dapat menahan gejolak diri untuk menghampiri minuman itu. Apa pedulinya orang-orang itu. Mereka bak patung batu yang keras.
 Aku hanyalah bocah ingusan yang tak bertuan. Gadis kecil yang tak tahu kemana ayah dan ibunya. Bak anak ayam yang tersisih dari induknya. Tak pernah kenal siapa indukku. Jikalaupun ku tahu ku ingin sekali mengutuk mereka. Yang telah sia-siakan aku. Yang telah menelantarkan aku. Tapi ku tak pernah lakukan itu. Ku tetap sayangi mereka walu ku tak tahu lagi mereka.
Hanya itu yang bisa kulakukan sehari-hari. Apa peduli dunia terhadapku pun aku tak hiraukan. Karena aku hanya bocah ingusan yang tak bertuan.

Sederhana, Bermakna dan Saya Suka

Sederhana, Bermakna dan Saya Suka

Ketika saya lahir, saya tidak pernah tahu akan berada ditengah keluarga siapa, suku apa, agamanya apa begitu pula nama. Saya tidak pernah bisa memesan ataupun memilih itu, apalagi nama. Menurut saya, nama yang telah saya pikul  sejak lahir hingga usia 18 tahun sekarang merupakan sebuah pemberian yang sangat berharga dari kedua orangtua saya.
Nama saya sangat sederhana dan sangat mudah diterka artinya hingga hampir semua teman-teman saya bisa menebak arti nama saya ini. Sesederhana itukah? Tidak bagi saya, nama saya memiliki arti lebih dari yang mereka tebak. Lahir sebagai anak kedua pada Oktober tepatnya pada 18 oktober 1993, sehingga kedua orangtua saya memberi saya nama yang menurut saya sangat sederhana tetapi sangat bermakna bagi saya.
Dwi Oktariani, ini nama saya. Dwi diambil untuk memberi identitas saya sebagai anak kedua, sedangkan Okta-Riani artinya anak yang lahir pada kemeriaan Oktober. Dari nama tersebut, kedua orangtua saya berharap saya dapat menyebarkan kebaikan dan juga kemeriahan kepada orang lain. Akan tetapi harapan itu belum sepenuhnya berjalan dengan baik, tanpa bantuan dari makna nama panggilan saya, Wiwi.
Kedua orangtua saya juga memberi saya nama panggilan, Wiwi. Nama itu pernah membuatku sangat kacau ketika saya duduk di kelas 1 SD. Saya pernah menolak panggilan itu. Saat itu, saya beranggapan bahwa nama panggilan itu diperuntukan untuk anak laki-laki. Saya beranggapan begitu , karena saya menemukan nama panggilan yang sama dengan nama panggilan laki-laki yang saat itu dia adalah siswa SMA yang kos didekat rumah saya. Awalnya saya baik-baik saja dengan nama panggilan itu, tetapi lantaran rasa kesal saya karena setiap kali saya mendengar kata Wiwi selalu saja bukan Wiwi nama saya yang dimaksudkan.
Hingga pada klimaksnya, saya utarakan pada ayah saya bahwa saya tidak mau lagi dengan panggilan itu, saya mau dan besar sekali keinginan untuk merubah nama panggilan. Ayah saya menanggapi keinginan saya, sambil tersenyum dia memberiku kesempatan untuk memikirkan nama yang pantas menurutku. Saat itu, saya tidak memikirkan nama apa-apa, sehingga ayah saya menyusulkan kembali dengan nama panggilan Bejo. Dengan tawaran nama itu, saya masih lebih memilih panggilan nama Wiwi daripada Bejo.
Kini, saya baru menyadari suatu makna dari nama-nama panggilan yang dulunya saya tidak sukai. Wiwi terkandung harapan kedua orangtua saya bahwa saya diharapkan dapat  selalu menyepakkan sayap kebaikan dimana dan kapanpun. Semi panggilan Bejo juga bermakna sangat bagus, yaitu anak yang selalu membawa keberuntungan.
Dari saat inilah saya mengerti satu kesalahan yang sering saya dan orang lain bilang dahulu “ Apalah arti sebuah nama”. Jargon / kalimat itu tidaklah berlaku lagi pada saya yang telah mengetahui betapa dalam dan banyak harapan serta makna yang tersirat dari nama saya. Menurut saya kalimat tersebut hanya berlaku dan diperuntukkan untuk orang yang menganggap nama itu tidak memiliki makna. Jadi, carilah makna yang tersirat dari namamu sekarang.
Inilah diskrifsi singkat tentang nama saya, nama yang sangat sederhana namun memiliki makna yang dalam dan harapan besar kedua orangtua kapada saya. Saya tidak akan mengubah nama saya lagi. Saya suka nama saya, saya suka panggilan saya.
Nama                          : Dwi Oktariani
Nama panggilan          : Wiwi

Wednesday, 3 October 2012

Mata kuliah yang bernama “Humanistics Studies”


Humanistics Studies? Kedua kata itu tidaklah asing didengar ditelinga saya sejak saya semester pertama (mahasiswa baru ceritanya). Saya tahu bahwa humanistics studies merupakan salah satu mata kuliah yang akan saya pelajari pada saat saya duduk di semester tiga. Mungkin karena  saya sudah terlalu sering mendengar kedua kata itu dari kakak-kakak tingkat saya, pada saat itu saya sangat tertarik untuk segera mempelajarinya. Keinginan untuk mempelajari mata kuliah ini semakin tak terkendali  ketika melihat dan mendengar antusias mereka saat diskusi bersama. Apalagi ketika masuk perpustakan dan duduk di sofa, disanalah markas yang biasa mereka gunakan untuk berdiskusi. Seperti sebuah kesempatan saya untuk tahu apa itu humanistics? Karena biasanya mereka berkumpul dan berdiskusi disana bersama seorang dosen yang menurut saya memberikan kesan “menakutkan” ketika pertama kali bertemu. Tatapan mata yang tajam dan tanpa ekspresi itu membuat saya sedikit goya untuk bertemu dengan sang dosen. (Peace, Sorry Pak damai itu indah loh, hehhe :D )
Ketika berada di perpus dan sedang ada diskusi itu, saya sempat mendengar sedikit diskusi dan perdebatan mereka dengan sang dosen (seru sih, tapi pada saat itu saya pura-pura gak dengerin) sehingga sedikit tahu mengenai mata kuliah itu. Menurut sependengaran dan pengamatan saya sih, humanistics studies yang mempelajari mengenai suatu kenyakinan (agama) seseorang, cara bertoleransi, mungkin bisa dibilang kalo di SMA, mata kuliah ini adalah pelajaran agama. Tidak hanya membahas agama islam tetapi juga membahas mengenai agama lainnya, seperti katolik, protestan, hindu,juga budha.
Sebagai penganut agama islam, saya pernah mendalami tentang agama yang saya anut( saat SMA), saya memiliki dua murrobi (guru agama)sehingga sedikit banyak saya paham dan mengenal agama saya. Saya pernah dan sering mengikuti liqo’ (seperti lingkaran pengajian) pada saat itu, saya juga pernah mengalami bagaimana menjadi seorang murrobi (guru agama) untuk adik-adik kelas saya. Bisa dibilang saya adalah orang yang sedikit fanatik tentang agama pada saat itu. Dari sanalah saya belajar bagaimana islam sesungguhnya, karena islam tidak mengajarkan umatnya untuk menutup diri dan menjauh dari yang “berbeda”. Saya merasakan sikap fanatik yang ada pada saya malah membuat sedikit orang merasa enggan bergaul dengan saya. Pada tahun terakhir di SMA, saya merasakan sebuah penolakan, sebuah keinginan untuk berubah, dan memandang segala sesuatu dengan kritis. Saya boleh fanatik, tapi saya juga harus menghargai, bergaul serta berbagi kepada yang “berbeda”.
Sebenarnya, sejak SD saya telah diajarkan untuk selalu menghargai dan menghormati orang lain walaupun berbeda kepercayaan, budaya, ethnik, ras, dll. Sehingga tidaklah heran jika saya menjalin selalu hubungan persahabatan kepada yang menganut agama yang berbeda dengan saya. Bahkan sampai saat ini (masa kuliah) saya juga berteman dengan mereka yang memiliki kepercayaan, ras, suku, dan asal yang berbeda.
Pada semester dua lalu, saya pernah membaca al-kitab (kristiani) milik teman satu kosan saya, saya berdiskusi mengenai isinya bahkan saya juga membandingkannya dengan kitab yang saya punya (Al-Qur’an Nul Kharim). Dari pengalaman itu, menurut saya semua agama memilik tujuan yang sama yaitu menyebarkan kebaikan dalam berbagai hal, menyembah yang diyakini , saling menghargai dan menciptakan rasa damai dibelahan dunia. Statement yang  menyatakan bahwa perbedaan itu indah, menurut sya tidaklah selalu benar karena sering kali kericuhan dan permasalahan mengatasnamakan “perbedaan” (agama, ras, etnik, pendapat dll).
Semoga suatu saat nanti saya bisa menganalisa alasan-alasannya. Karena itulah saya mempunyai beberapa tujuan yang ingin sekali saya dapatkan pada mata kuliah yang satu ini.Baiklah, akan sedikit saya paparkan mengenai beberapa ekspektasi saya  Melalui mata kuliah ini, saya berharap:
1.      Dapat mengenal lebih dalam mengenai identitas saya, bukan hanya sekedar nama ataupun identitas sebagai mahasiswa.
2.      Sebagai mahasiswa, saya ingin lebih kritis dalam berpikir, dalam bertindak, dan dalam berbagai hal sehingga saya dapat memperluas dan mengasah cara memandang sebuah masalah.
3.      Meningkatkan rasa solidaritas pada keberagaman (perbedaan ras, budaya, agama, pendapat dll) serta cara bergaul yang baik terhadap sesama makhluk hidup sehingga implementasi dari mata kuliah ini tidaklah sia-sia.
4.      Bisa berdiskusi lebih lanjut dan mendalam mengenai agama (Islam, kristen, budha, protestan bahkan hindu) dan pandangan-pandangan orang lain terhadap perbedaan itu.