Ku hanya Bocah Ingusan tak
Bertuan
Dwi Oktariani
Kuterdiam sejenak. Menghentikan langkah yang tak tentu
arah. Mengikuti jejak mentari, timbul dan kelam. Seiring semilir angin memecah
sunyi. Aku lapar, lapar sekali. Di depanku ada istana perut alias tempat makan
megah dan ternama. Aku tak tahu pasti bangunan macam apakah itu? Aku hanya tahu
dari orang-orang sekelilingku, bangunan itu namanya Restoran. Jangan tanyakan
aku mengenai itu lagi, itu sangat tidaklah penting, yang penting itu cara untuk
mengisi perutku yang sakit ini. Rasanya tak bisa untuk ditahan lagi .
“apa yang harus ku
lakukan?” Tanyaku dalam hati.
Aku sudah tak sanggup lagi menahannya. Lem aibon yang biasanya
ku gunakan untuk menetralisir rasa lapar melanda kini sudah tak mampu
menghilangkan rasa laparnya di perutku ini. aduh,sakit
sekali! Jeritku dalam hati.
Telah lebih dari sepuluh rumah makan di kota semegah ini
ku datangi tapi tak satupun yang pedulikan rasa sakitnya dan laparnya perut
ini. Kadang terlintas rasa ingin mengakhiri hidup . Biar ku tak rasakan lagi
penderitaan ini. tapi, khayalan-khalayan masa depanku nanti selalu membayang
membuang semua niat bunuh diri itu.
Setiap hari aku selalu berkhayal dengan penuh harap akan
datang seorang dermawan baik yang mau mengangkatku menjadi anaknya atau mungkin
hanya sekedar memberiku sebungkus nasi untuk makan.
Aku tetap melirik orang-orang yang sedang makan di dalam
sana. Betapa enaknya mereka. Betapa sejahteranya mereka. Setiap melihat mereka
hatiku selalu kacau dan penuh dengan khayalan yang tak jelas.
“ Andai saja,... ah
sudahlah tak baik orang macam aku berandai terlalu jauh.. jika jatuh sakit
sekali rasanya. “gumamku
Lama aku terdiam, berharap ada yang datang memberiku sedikit atau sebongkah roti kecil untuk mengganjal perut ini. tapi rasanya tak ada yang hiraukan aku. Wajah kecilku ayng kumel dan lesuh tak membuat seorangpun tergerak hatinya untuk memberi. Menit berlalu menit, jam telah berlalu juga. Hingga mentari telah meninggi menantang. Aku kesal dan rasa sakit perutku ini sudah tak terkontrol lagi. Aku kemudian berlalu pergi. Dengan dibantu seonggak kayu aku berjalan, berjalan dan berjalan lagi. Melintasi jalanan sepi. Dengan daya yang masih tersisa, aku membawa kaki dan seonggok kayu itu berjalan. Aku pun tak tahu harus ku bawa kemana kaki ini melangkah.
Lama aku terdiam, berharap ada yang datang memberiku sedikit atau sebongkah roti kecil untuk mengganjal perut ini. tapi rasanya tak ada yang hiraukan aku. Wajah kecilku ayng kumel dan lesuh tak membuat seorangpun tergerak hatinya untuk memberi. Menit berlalu menit, jam telah berlalu juga. Hingga mentari telah meninggi menantang. Aku kesal dan rasa sakit perutku ini sudah tak terkontrol lagi. Aku kemudian berlalu pergi. Dengan dibantu seonggak kayu aku berjalan, berjalan dan berjalan lagi. Melintasi jalanan sepi. Dengan daya yang masih tersisa, aku membawa kaki dan seonggok kayu itu berjalan. Aku pun tak tahu harus ku bawa kemana kaki ini melangkah.
Dengan langkah yang sudah tak terkontrol karena sudah tak
cukup berdaya lagi, ku terhenti di sebuah kotak besar. Nampak seperti kotak
sampah tapi itu memang kotak sampah. Aku buka kotak itu dan berharap ada
sedikit makanan kecil didalamnya. Layaknya seekor ayam yang sedang mengais
mencari makan. Dengan wajah yang sumringah aku tersenyum lega.
‘Alhamdulilah
akhirnya rasa sakit perut ini akan segera terobati” syukurku dalam hati
Bak mendapatkan durian runtuh menemukan sisa-sisa makanan
itu. Ku ambil dengan perlahan sembari mengelus-elus perut yang sudah tak tahan
lagi. Sambil membawa sisa-sisa makanan itu, aku mencari tempat untuk
menyantapnya.
Disebuah pohon yang rindang dan sepi. Disanalah aku
menyantapnya. Ku buka perlahan seperti tak mau serakah. Ku liat makanan itu
sudah tak menarik lagi. Ku cium baunya juga semerbak bak sisa makanan hewan.
Tapi aku tak mau menyia-nyiakan makanan itu. Sambil berdoa dengan khusuknya aku
memohon dan berharap Tuhan menghilangkan baunya dan memperindah teksturnya.
Ku mulai pejamkan mata erat-erat. Erat sekali. Bak
terbuat dari baja. Dengan tersenyum lebar, aku mulai berkhayal dan membayangkan
ku sedang berda di sebuah restoran terkenal dan termahal di jagat raya ini. ku
biarkan anganku melayang entah kemana. Ku rasakan semakin jauh dan jauh.
Kini ku merasa diri di sebuah restoran megah dan mahal
dengan makanan yang sangat enak. Ku biarkan diri tersenyum sendiri. Dengan mata
masih terpejam dan angan yang masih dibiarkan lepas, ku mulai untuk menyantap
sisa-sisa makanan tadi yang ku temukan. Sambil memakan itu aku masih membiarkan
anganku yang merasakan nikmatnya makanan itu bak makan di surga makanan.
Semilir angin sepoi-sepoi, ku masih menyantapnya. Ku tak
rasakan lagi baunya. Ku juga tak melihat teksturnya. Hingga habis ku
menyantapnya.
Mata masih tetap ku biarkan tertutup begitu juga anganku
masih berlayar bebas jauh disana. Ku rasakan perutku telah terisi. Perlahan ku
buka mata ini sembari menyucap syukur. perlahan juga ku dapatkan jiwaku
kembali. Ku lihat makananku telah habis dilahap. Aku senang aku bisa
melakukannya lagi. Aku bersyukur makanan itu telah memberiku sedikit tenaga.
Kini haus yang ku rasakan. Tepat sekali. Di halte itu ku lihat, ada botol.
Botol minuman yang tak bertuan. Ku coba dekati dan mengambilnya. Untungnya
halte itu tak begitu ramai.
Sekalipun ramai, aku tak dapat menahan gejolak diri untuk
menghampiri minuman itu. Apa pedulinya orang-orang itu. Mereka bak patung batu
yang keras.
Aku hanyalah bocah
ingusan yang tak bertuan. Gadis kecil yang tak tahu kemana ayah dan ibunya. Bak
anak ayam yang tersisih dari induknya. Tak pernah kenal siapa indukku.
Jikalaupun ku tahu ku ingin sekali mengutuk mereka. Yang telah sia-siakan aku.
Yang telah menelantarkan aku. Tapi ku tak pernah lakukan itu. Ku tetap sayangi
mereka walu ku tak tahu lagi mereka.
Hanya itu yang bisa kulakukan sehari-hari. Apa peduli
dunia terhadapku pun aku tak hiraukan. Karena aku hanya bocah ingusan yang tak
bertuan.